Saturday 5 October 2013

REALITA INDONESIA SEBAGAI KEHADIRAN AGAMA-AGAMA: PENDIDIKAN AGAMA KRISTEN DI PENDIDIKAN TINGGI

PERTEMUAN 1 REALITAS SOSIAL INDONESIA SEBAGAI KONTEKS KEHADIRAN AGAMA-AGAMA Kompetensi: Memahami dan menyadari Kenyataan dan Konteks Indonesia tempat agama-agama berkembang. Sub Kompetensi: 1.Mampu menyadari konteks di mana agama-agama ada. 2.Menerima dan menghargai keragaman yang ada. 3.Menyadari adanya hak dan kewajiban yang sama. 4.Dapat menjauhi Sikap Eksklusifisme, fanatisme, radikalisme dalam beragama. Bahan Ajar: 1. Indonesia Negara yang Plural. Indonesia adalah negara yang pluralistik; plural secara budaya, etnik, dan tentu saja agama. Itu berarti peran etnik dan agama di Indonesia sangat menentukan bagi masa depan bangsa ini. Apakah Indonesia dapat tetap utuh sebagai negara kesatuan republik Indonesia yang membangun kehidupan sejahtera, adil, makmur berdasarkan Pancasila, salah satunya sangat tergantung dari peran agama-agama. Agama dengan sendirinya dihubungkan dengan yang suci, baik hati, berbelas kasih,damai. Namun, dalam kenyataan, kita mengamati bahwa dalam banyak tindak kekerasan,terorisme, dan konflik berdarah, agama adalah salah satu yang terlibat di dalamnya.Oleh karena itu, agama-agama yang ada di Indonesia, harus menyadari konteksnya,dimana ia ditempatkan dan berada, yakni di bumi Indonesia yang ciri khas mendasar, yangtidak dapat ditolak oleh siapapun adalah pluralitas, termasuk pluralitas dalam agama. Negatif atau positif peran agama-agama sangat menentukan kesatuan, keutuhan negarakesatuan Republik Indonesia ini. Ciri sekaligus sifat kepelbagaian tersebut, sebagai fakta sejarah kemudian disatukanmenjadi negara kesatuan dengan dasar negara Pancasila, dengan lambang Garuda lengkap dengan motto Bhinneka Tunggal Ika, artinya berbeda-beda tetapi tetap satu. Pancasila sebagai ideologi negara merupakan payung sekaligus dasar bagi bangsa yang masyarakatnyamajemuk dalam hal agama. 1.Masalah hubungan antar umat beragama di Indonesia. Hubungan antar umat beragama di Indonesia mengalami pasang-surut. Tidak jarang terjadinya konflik – bahkan pertikaian berdarah yang bermuatan agama atau antar agama,terutama antara Kristen dan Islam. Menurut Martin L. Sinaga ada dua penyebab ketegangan antar agama, yakni: teologis dan non teologis. Menurut J. Aritonang secara teologis, ada beberapa hal menjadipenyebab ketegangan: 1.Klaim-klaim kebenaran mutlak (absolute truth claim). Setiap agama mengimani agamanya sebagai benar. Namun, ketika penafsiran-penafsiran tertentu terhadap klaim-klaim kebenaran dipandang dan dipahami secara literal, dan sebagai satu-satunyakebenaran yang menuntut keseragaman dari agama lain, agama bisa menjadi jahat. 2.Klaim kebenaran mutlak bukan hanya mengakibatkan terjadinya abuse (penyalahgunaan) terhadap kitab suci, tetapi juga mendorong munculnya semangat misionaris yang berlebihan, dengan menggunakan segala cara demi atas nama“menyelamatkan orang-orang berdosa”, baik di Lingkungan agama sendiri maupundengan pemeluk agama lain. 3.Perjumpaan bisa lebih keras terjadi, jika diikuti dengan declaration of holy war , untukmencapai agenda-agenda dan tujuan yang dianggap bertentangan dengan kesucian agamanya. 4.Di Indonesia, menurut Azyumardi Azra3, ketegangan antar agama bersumber dari: 1).Tulisan-tulisan yang diterbitkan oleh kalangan pihak agama tertentu tentang agama lain yang dipandang para pemeluknya tidak sesuai dengan apa yang mereka imani, karena itu dianggap mencemarkan, menodai kesucian agama mereka. 2). Usaha Penyebaran agama secara agresif. 3).Penggunaan rumah sebagai tempat ibadah, atau mendirikan tempat ibadah di lingkungan masyarakat penganut agama tertentu. 4). Penerapan peraturan Pemerintah yang dianggap diskriminatif terhadap agama tertentu. 5).Kecurigaan timbal-balik berkenaan dengan posisi agama dan peranan agama dalamnegara-bangsa Indonesia. 5.Secara non Teologis, bisa saja persoalan sosiologis, ekonomi, politik kemudian menjadikan agama sebagai tunggangan untuk kepentingan tertentu.Para Penganut agama-agama yang ada di Indonesia, harus menyadari, realita kemajemukan serta potensi bahaya jika masing-masing hanya mementingkan kepentingan agamanya sendiri dan mengabaikan kepentingan kelompok lainnya.Menurut Durkheim, agama merupakan sarana untuk memperkuat kesadaran kolektif yang diwujudkan melalui upacara-upacara dan ritus-ritusnya. Namun, apabila kekuatan itu tidak dapat dikendalikan, akan menimbulkan bahaya konflik yangberkepanjangan dan bisa mengakibatkan disintergrasi sosial. Oleh karena itu, kerukunanantar umat beragama adalah sesuatu yang sangat didambakan, tetapi sekaligus jugamembutuhkan perjuangan berat untuk mencapainya. 2.Mayoritas dan Minoritas dalam Pluralitas. Istilah mayoritas berasal bahasa Latin, maior / magnusyang artinya: banyak, besar,sedangkan minoritas berasal dari kata minou/parpus artinya berkurang, kecil, sedikit. Dalam hubungan negara kesatuan Republik Indonesia yang majemuk, ada bahaya dari penggunaan istilah mayoritas dan minoritas. Bahaya itu akan muncul, apabila kelompok mayoritas disemangati fanatisme sempit, sehingga mengakibat sikap superioritas, semena-mena terhadap kelompok minoritas. Sebaliknya kelompok minoritas enggan terhadap mayoritas.Hubungan mayoritas-minoritas di negara Pancasila, harus mementingkan kesamaan kedudukan, dan menjauhi sikap pertentangan. Baik mayoritas maupun minoritas harus bisa mencegah tuntutan-tuntutan yang berlebihan dari masing-masing pihak dalampenyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara. 3.Mengembangkan Sikap Pluralisme Hidup di tengah masyarakat yang majemuk, semua penganut agama-agama, perlu menumbuhkan sikap beragama yang pluralisme. Pluralisme dalam agama, adalah paham yang mengakui atau menerima bahwa semua agama pada dasarnya memiliki kebenaran yang sama (dapat saling melengkapi) karena berasal dari sumber yang sama yaitu TuhanYang Maha Esa (Roma 10:4-13). Tidak ada agama yang bersifat universal. Hal itu memungkinkan bahwa masalah keselamatan bukan hanya monopoli agama tertentu,melainkan kewenangan Allah yang universal. Agama-agama yang ada hendaknya berperan besar dalam rangka pembangunan nasional sebagai faktor motivatif, kreatif, inovatif dan integratif, sublimatif (penghayatan)dan sumber inspirasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Secara konstitusi, negaraIndonesia menjamin kebebasan beragama. UUD 1945, pasal 29: negara menjaminkemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama dan kepercayaannya masing-masing, dan beribadat menurut agama dan keprcayaanya itu. Oleh karena itu, menjadi masalah apabila salah satu agama dijadikan dasar kehidupan sosial. Kedudukan agama lainakan tersingkir atau bahkan akan ditiadakan. Akibatnya muncul diskriminasi agama, atau ungkapan “kafir” terhadap agama lain. Kecenderungan ini berlaku pada agama apapun,apabila agama dipahami secara ekslusif dan tertutup. Nast Alkitab: Mazmur 145:9a.Sumber –sumber: 1.A.A. Yewangoe. (2002). Iman, Agama, Masyarakat dalam Negara pancasila. BPK. GunungMulia. Jakarta. 2.Brotosudarmo. (2009). Pendidikan Agama Kristen Untuk Perguruan Tinggi. Andi. Yogjakarta. 3.Jan Aritonang. (2005). Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia. BPK GunungMulia. Jakarta. 4 Tim Balitbang PGI. (2003). Meretas Jalan Teologi Agama-agama di Indonesia. BPK GunungMulia. Jakarta .5.Gerit Singgih. (2002). Iman, Politik dalm Era Reformasi. BPK Gunung Mulia. Jakarta

No comments: